(Q.S. An-Nisa' : 34)
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34)
kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.
Firman Allah Swt.:
الرِّجالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّساءِ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34)
Dengan kata lain, lelaki itu adalah pengurus wanita, yakni pemimpinnya, kepalanya, yang menguasai, dan yang mendidiknya jika menyimpang.
{بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ}
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). (An-Nisa: 34)
Yakni karena kaum laki-laki lebih afdal daripada kaum wanita, seorang lelaki lebih baik daripada seorang wanita, karena itulah maka nubuwwah (kenabian) hanya khusus bagi kaum laki-laki. Demikian pula seorang raja. Karena ada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً»
Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan mereka dipegang oleh seorang wanita.
Hadis riwayat Imam Bukhari melalui Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya. Demikian pula dikatakan terhadap kedudukan peradilan dan lain-lainnya.
وَبِما أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوالِهِمْ
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisa: 34)
Berupa mahar (mas kawin), nafkah, dan biaya-biaya lainnya yang diwajibkan oleh Allah atas kaum laki-laki terhadap kaum wanita, melalui kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya.
Diri lelaki lebih utama daripada wanita, laki-laki mempunyai keutamaan di atas wanita, juga laki-lakilah yang memberikan keutamaan kepada wanita. Maka sangat sesuailah bila dikatakan bahwa lelaki adalah pemimpin wanita. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَلِلرِّجالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. (Al-Baqarah: 228), hingga akhir ayat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34) Yakni menjadi kepala atas mereka; seorang istri diharuskan taat kepada suaminya dalam hal-hal yang diperintahkan oleh Allah yang mengharuskan seorang istri taat kepada suaminya. Taat kepada suami ialah dengan berbuat baik kepada keluarga suami dan menjaga harta suami. Hal yang sama dikatakan oleh Muqatil, As-Saddi, dan Ad-Dahhak.
Al-Hasan Al-Basri meriwayatkan bahwa ada seorang istri datang kepada Nabi Saw. mengadukan perihal suaminya yang telah menamparnya. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Balaslah!" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34) Akhirnya si istri kembali kepada suaminya tanpa ada qisas (pembalasan).
Ibnu Juraij dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Al-Hasan Al-Basri. Hal yang sama di-mursal-kan hadis ini oleh Qatadah, Ibnu Juraij, dan As-Saddi. Semuanya itu diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Murdawaih menyandarkan hadis ini ke jalur yang lain. Untuk itu ia mengatakan:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَلِيٍّ النَّسَائِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْهَاشِمِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْأَشْعَثُ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ مُوسَى بْنِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ جَدِّي، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ علي قال: أَتَى النَّبِيَّ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ بِامْرَأَةٍ لَهُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ زَوْجَهَا فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ الْأَنْصَارِيُّ، وَإِنَّهُ ضَرَبَهَا فَأَثَّرَ فِي وَجْهِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "ليْسَ ذَلِكَ لَه". فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ [بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ]} أَيْ: قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ فِي الْأَدَبِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَرَدْتُ أمْرًا وأرَادَ اللَّهُ غَيْرَه"
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ali An-Nasai, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hibatullah Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muhammad Al-Asy'as, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail ibnu Musa ibnu Ja'far ibnu Muhammad yang mengatakan bahwa ayahku telah menceritakan kepada kami, dari kakekku, dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali yang menceritakan bahwa datang kepada Rasulullah Saw. seorang lelaki dari kalangan Ansar dengan seorang wanita mahramnya. Lalu si lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya suami wanita ini (yaitu Fulan bin Fulan Al-Ansari) telah menampar wajahnya hingga membekas padanya." Rasulullah Saw. bersabda, "ia tidak boleh melakukan hal itu." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34) Yakni dalam hal mendidik. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Aku menghendaki suatu perkara, tetapi ternyata Allah menghendaki yang lain.
Hadis ini di-mursal-kan pula oleh Qatadah, Ibnu Juraij, dan As-Saddi; semuanya diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Asy-Sya'bi mengatakan sehubungan dengan ayat ini, yaitu firman-Nya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisa: 34) Yaitu mas kawin yang diberikan oleh laki-laki kepadanya. Tidakkah Anda melihat seandainya si suami menuduh istrinya berzina, maka si suami melakukan mula'anah terhadapnya (dan bebas dari hukuman had). Tetapi jika si istri menuduh suaminya berbuat zina, si istri dikenai hukuman dera.
Firman Allah Swt. yang mengatakan, "As-Salihat," artinya wanita-wanita yang saleh.
Firman Allah Swt. yang mengatakan, "Qanitat menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, yang dimaksud ialah istri-istri yang taat kepada suaminya.
{حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ}
lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya. (An-Nisa: 34)
Menurut As-Saddi dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah wanita yang memelihara kehormatan dirinya dan harta benda suaminya di saat suaminya tidak ada di tempat.
*******
Firman Allah Swt.:
بِما حَفِظَ اللَّهُ
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (An-Nisa: 34)
Orang yang terpelihara ialah orang yang dipelihara oleh Allah.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ، حَدَّثَنَا أَبُو مَعْشَر، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ الْمقبري، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خَيرُ النساءِ امرأةٌ إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَإِذَا أمَرْتَها أطاعتكَ وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظتْكَ فِي نَفْسِها ومالِكَ". قَالَ: ثُمَّ قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ} إِلَى آخِرِهَا.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sebaik-baik wanita ialah seorang istri yang apabila kamu melihat kepadanya, membuatmu gembira; dan apabila kamu memerintahkannya, maka ia menaatimu; dan apabila kamu pergi meninggalkan dia, maka ia memelihara kehormatan dirinya dan hartamu. Abu Hurairah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Yunus ibnu Habib, dari Abu Daud At-Tayalisi, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Zi-b, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah dengan lafaz yang semisal.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، عَنْ عُبيد اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرَ: أَنَّ ابْنَ قَارِظٍ أَخْبَرَهُ: أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا صَلَّت الْمَرْأَةُ خَمسها، وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَها؛ وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abdullah ibnu Abu Ja'far; Ibnu Qariz pernah menceritakan kepada-nya bahwa Abdur Rahman ibnu Auf pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Seorang wanita itu apabila mengerjakan salat lima waktunya, puasa bulan (Ramadan)nya, memelihara kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya, "Masuklah kamu ke dalam surga dari pintu mana pun yang kamu sukai."
Hadis ini diriwayatkan secara munfarid (menyendiri) oleh Imam Ahmad melalui jalur Abdullah ibnu Qariz, dari Abdur Rahman ibnu Auf.
*******
Firman Allah Swt.:
وَاللَّاتِي تَخافُونَ نُشُوزَهُنَّ
Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya. (An-Nisa: 34)
Yakni wanita-wanita yang kalian khawatirkan bersikap membangkang terhadap suaminya.
An-Nusyuz artinya tinggi diri; wanita yang nusyuz ialah wanita yang bersikap sombong terhadap suaminya, tidak mau melakukan perintah suaminya, berpaling darinya, dan membenci suaminya. Apabila timbul tanda-tanda nusyuz pada diri si istri, hendaklah si suami menasihati dan menakutinya dengan siksa Allah bila ia durhaka terhadap dirinya. Karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadanya agar taat kepada suaminya dan haram berbuat durhaka terhadap suami, karena suami mempunyai keutamaan dan memikul tanggung jawab terhadap dirinya. Rasulullah Saw. sehubungan dengan hal ini telah bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجد لِأَحَدٍ لأمرتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، مِنْ عِظَم حَقِّه عَلَيْهَا"
Seandainya aku diberi wewenang untuk memerintah seseorang agar bersujud terhadap orang lain, niscaya aku perintahkan kepada wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena hak suami yang besar terhadap dirinya.
Imam Bukhari meriwayatkan melalui Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امرَأتَهُ إِلَى فِرَاشِه فأبَتْ عَلَيْهِ، لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِح"
Apabila seorang lelaki mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu si istri menolaknya, maka para malaikat melaknatnya sampai pagi hari.
Menurut riwayat Imam Muslim disebutkan seperti berikut:
"إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجرة فِراش زَوْجِها، لَعْنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصبِح"
Apabila seorang istri tidur semalam dalam keadaan memisahkan diri dari tempat tidur dengan suaminya, maka para malaikat melaknatnya sampai pagi hari.
Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
{وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ}
Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya, maka nasihatilah mereka. (An-Nisa: 34)
*******
Adapun firman Allah Swt.:
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضاجِعِ
dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka. (An-Nisa: 34)
Menurut Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, makna yang dimaksud ialah hendaklah si suami tidak menyetubuhinya, tidak pula tidur bersamanya; jika terpaksa tidur bersama. maka si suami memalingkan punggungnya dari dia.
Hal yang sama dikatakan pula oleh bukan hanya seorang. Tetapi ulama yang lainnya, antara lain As-Saddi, Ad-Dahhak, Ikrimah, juga Ibnu Abbas menurut riwayat yang lain mengatakan bahwa selain itu si suami jangan berbicara dengannya, jangan pula mengobrol dengannya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, hendaknya si suami menasihatinya sampai si istri kembali taat. Tetapi jika si istri tetap membangkang, hendaklah si suami berpisah dengannya dalam tempat tidur, jangan pula berbicara dengannya, tanpa menyerahkan masalah nikah kepadanya; yang demikian itu terasa berat bagi pihak istri.
Mujahid, Asy-Sya'bi, Ibrahim, Muhammad ibnu Ka’b, Miqsam, dan Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-hajru ialah hendaknya si suami tidak menidurinya.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي حَرَّةَ الرَّقَاشِيِّ، عَنْ عَمِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "فَإِن خِفْتُمْ نُشُوزَهُنَّ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ" قَالَ حَمَّادٌ: يَعْنِي النِّكَاحَ
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid. dari Abu Murrah Ar-Raqqasyi, dari pamannya, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Jika kalian merasa khawatir mereka akan nusyuz (membangkang), maka pisahkanlah diri kalian dari tempat tidur mereka. Hammad mengatakan bahwa yang dimaksud ialah jangan menyetubuhinya.
Di dalam kitab sunan dan kitab musnad disebutkan dari Mu'awiyah ibnu Haidah Al-Qusyairi, bahwa ia pernah bertanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا حَقُّ امْرَأَةِ أَحَدِنَا؟ قَالَ: "أَنْ تُطعمها إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَا تَضْرِب الوَجْهَ وَلَا تُقَبِّح، وَلَا تَهْجُر إِلَّا فِي البَيْتِ"
"Wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri di antara kami atas diri suaminya?" Nabi Saw. menjawab: Hendaknya kamu memberi dia makan jika kamu makan, dan memberinya pakaian jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu memukul wajah dan jangan memburuk-burukkan, janganlah kamu mengasingkannya kecuali dalam lingkungan rumah.
*******
Firman Allah Swt.:
وَاضْرِبُوهُنَّ
dan pukullah mereka. (An-Nisa: 34)
Yakni apabila nasihat tidak bermanfaat dan memisahkan diri dengannya tidak ada hasilnya juga, maka kalian boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Jabir, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda dalam haji wada'-nya:
واتَّقُوا اللهَ فِي النِّساءِ، فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشكم أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْن فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبا غَيْرَ مُبَرِّح، وَلَهُنَّ رزْقُهنَّ وكِسْوتهن بِالْمَعْرُوفِ"
Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya mereka di sisi kalian merupakan penolong, dan bagi kalian ada hak atas diri mereka, yaitu mereka tidak boleh mempersilakan seseorang yang tidak kalian sukai menginjak hamparan kalian. Dan jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukakan, dan bagi mereka ada hak mendapat rezeki (nafkah) dan pakaiannya dengan cara yang makruf.
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, yaitu dengan pukulan yang tidak melukakan.
Menurut Al-Hasan Al-Basri, yang dimaksud ialah pukulan yang tidak membekas.
Ulama fiqih mengatakan, yang dimaksud ialah pukulan yang tidak sampai mematahkan suatu anggota tubuh pun, dan tidak membekas barang sedikit pun.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas; jika si istri nusyuz, hendaklah si suami memisahkan diri dari tempat tidurnya. Jika si istri sadar dengan cara tersebut, maka masalahnya sudah selesai. Tetapi jika cara tersebut tidak bermanfaat, maka Allah mengizinkan kepadamu untuk memukulnya dengan pukulan yang tidak melukakan, dan janganlah kamu mematahkan suatu tulang pun dari tubuhnya, hingga ia kembali taat kepadamu. Tetapi jika cara tersebut tidak bermanfaat, maka Allah telah menghalalkan bagimu menerima tebusan (khulu') darinya.
Sufyan ibnu Uyaynah meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Abdullah ibnu Abdullah ibnu Umar, dari Iyas ibnu Abdullah ibnu Abu Ziab yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"لَا تَضْرِبوا إماءَ اللهِ". فَجَاءَ عُمَرُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ذئِرَت النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ. فَرَخَّصَ فِي ضَرْبِهِنَّ، فَأَطَافَ بِآلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَقَدْ أطافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ، لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ"
Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah! Maka datanglah Umar r.a. kepada Rasulullah Saw. dan mengatakan, "'Banyak istri yang membangkang terhadap suaminya," Lalu Rasulullah Saw. memperbolehkan memukul mereka (sebagai pelajaran). Akhirnya banyak istri datang kepada keluarga Rasulullah Saw. mengadukan perihal suami mereka. Lalu Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya banyak istri yang berkerumun di rumah keluarga Muhammad mengadukan perihal suami mereka; mereka (yang berbuat demikian terhadap istrinya) bukanlah orang-orang yang baik dari kalian.
Hadis riwayat Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ -يَعْنِي أَبَا دَاوُدَ الطَّيَالِسِيَّ-حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ دَاوُدَ الأوْدِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ المُسْلي عَنِ الْأَشْعَثِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ ضفْتُ عُمَرَ، فَتَنَاوَلَ امْرَأَتَهُ فَضَرَبَهَا، وَقَالَ: يَا أَشْعَثُ، احْفَظْ عَنِّي ثَلَاثًا حَفظتهن عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَسألِ الرَّجُلَ فِيمَ ضَرَبَ امرَأَتَهُ، وَلَا تَنَم إِلَّا عَلَى وِتْر ... وَنَسِيَ الثَّالِثَةَ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud (yakni Abu Daud At-Tayalisi), telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Daud Al-Audi, dari Abdur Rahman As-Sulami, dari Al-Asy’as ibnu Qais yang menceritakan, "Aku pernah bertamu di rumah Umar r.a. Lalu Umar memegang istrinya dan menamparnya, setelah itu ia berkata, 'Hai Asy'as, hafalkanlah dariku tiga perkara berikut yang aku hafalkan dari Rasulullah Saw. yaitu: Janganlah kamu menanyai seorang suami karena telah memukul istrinya, dan janganlah kamu tidur melainkan setelah mengerjakan witir'." Al-Asy'as lupa perkara yang ketiganya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Nasai, Imam Ibnu Majah, dari hadis Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Abu Uwwanah, dari Daud Al-Audi dengan lafaz yang sama.
*******
Firman Allah Swt.:
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. (An-Nisa: 34)
Artinya, apabiia seorang istri taat kepada suaminya dalam semua apa yang dikehendaki suaminya pada diri si istri sebatas yang dihalalkan oleh Allah, maka tidak ada jalan bagi si suami untuk menyusahkannya, dan suami tidak boleh memukulnya, tidak boleh pula mengasingkannya.
*******
Firman Allah Swt.:
إِنَّ اللَّهَ كانَ عَلِيًّا كَبِيراً
Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. (An-Nisa: 34)
Mengandung ancaman terhadap kaum laki-laki jika mereka berlaku aniaya terhadap istri-istrinya tanpa sebab, karena sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar yang akan menolong para istri; Dialah yang akan membalas terhadap lelaki (suami) yang berani berbuat aniaya terhadap istrinya.
------------------------------------
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا (35)
Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dalam pembahasan pertama disebutkan bilamana nusyuz dan membangkang timbul dari pihak istri, kemudian dalam pembahasan ini disebutkan bilamana nusyuz timbul dari kedua belah pihak. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا}
Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. (An-Nisa: 35)
Ulama fiqih mengatakan, apabila terjadi persengketaan di antara sepasang suami istri, maka hakimlah yang melerai keduanya sebagai pihak penengah yang mempertimbangkan perkara keduanya dan mencegah orang yang aniaya dari keduanya melakukan perbuatan aniayanya.
Jika perkara keduanya bertentangan juga dan persengketaan bertambah panjang, maka pihak hakim memanggil seorang yang dipercaya dari keluarga si perempuan dan seorang yang dipercaya dari kaum laki-laki, lalu keduanya berkumpul untuk mempertimbangkan perkara kedua pasangan yang sedang bersengketa itu. Kemudian keduanya melakukan hal yang lebih maslahat baginya menurut pandangan keduanya, antara berpisah atau tetap bersatu sebagai suami istri. Akan tetapi, imbauan syariat menganjurkan untuk tetap utuh sebagai suami istri. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
{إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا}
Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. (An-Nisa: 35)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah memerintahkan agar mereka mengundang seorang lelaki yang saleh dari kalangan keluarga laki-laki, dan seorang lelaki lain yang semisal dari kalangan keluarga si perempuan. Lalu keduanya melakukan penyelidikan untuk mencari fakta, siapa di antara keduanya yang berbuat buruk. Apabila ternyata pihak yang berbuat buruk adalah pihak laki-laki, maka pihak suami mereka halang-halangi dari istrinya, dan mereka mengenakan sanksi kepada pihak suami untuk tetap memberi nafkah. Jika yang berbuat buruk adalah pihak perempuan. maka mereka para hakam mengenakan sanksi terhadapnya untuk tetap di bawah naungan suaminya, tetapi mereka mencegahnya untuk mendapat nafkah. Jika kedua hakam sepakat memisahkan atau mengumpulkannya kembali dalam naungan suatu rumah tangga sebagai suami istri, hal tersebut boleh dilakukan keduanya. Tetapi jika kedua hakam berpendapat sebaiknya pasangan tersebut dikumpulkan kembali, sedangkan salah seorang dari suami istri yang bersangkutan rela dan yang lainnya tidak; kemudian salah seorangnya meninggal dunia, maka pihak yang rela dapat mewarisi pihak yang tidak rela, dan pihak yang tidak rela tidak dapat mewarisi pihak yang rela.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari Ikrimah ibnu Khalid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Aku dan Mu'awiyah pernah diutus sebagai hakam." Ma'mar melanjutkan kisahnya, bahwa yang mengutus kedua-ya adalah Khalifah Usman. Khalifah Usman berkata kepada keduanya, "Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya pasangan suami istri itu dikumpulkan kembali, kamu berdua boleh menghimpunnya kembali. Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya keduanya dipisahkan, maka kamu berdua boleh memisahkan keduanya."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Aqil ibnu Abu Talib kawin dengan Fatimah binti Atabah ibnu Rabi'ah. Maka Fatimah binti Atabah berkata, "Kamu ikut denganku dan aku bersedia menafkahimu." Tersebutlah apabila Aqil masuk menemui istrinya, istrinya berkata, "Di manakah Atabah ibnu Rabi'ah dan Syaibah ibnu Rabi'ah?" Lalu Aqil menjawabnya, "Di sebelah kirimu di neraka jika kamu memasukinya." Mendengar jawaban itu Fatimah binti Atabah merapikan bajunya, lalu datang kepada Khalifah Usman dan menceritakan kepadanya perihal suaminya itu. Maka Khalifah Usman tertawa, lalu mengutus Ibnu Abbas dan Mu'awiyah untuk melerai keduanya.
Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya aku benar-benar akan memisahkan keduanya." Lain halnya dengan Mu'awiyah, ia mengatakan.”Aku tidak akan memisahkan di antara dua orang dari kalangan Bani Abdu Manaf." Ketika Ibnu Abbas dan Mu'awiyah datang kepada keduanya, ternyata mereka berdua menjumpai pintu rumahnya tertutup bagi mereka. Akhirnya Ibnu Abbas dan Mu'awiyah kembali.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ubaidah yang menceritakan bahwa ia pernah menyaksikan sahabat Ali kedatangan seorang wanita dan seorang lelaki (suami istri). Masing-masing dari keduanya diiringi oleh sejumlah orang. Akhirnya Khalifah Ali mengangkat salah seorang dari suatu rombongan sebagai hakam, dan dari rombongan yang lain seorang hakam lagi. Kemudian ia berkata kepada kedua hakam itu, "Tahukah kalian, apakah yang harus kalian kerjakan? Sesungguhnya kewajibanmu adalah jika kamu berdua meiihat bahwa kedua pasangan itu sebaiknya dikumpulkan, maka kamu harus menyatukannya kembali." Pihak wanita berkata, "Aku rela dengan keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah." Pihak laki-laki berkata, "Aku tidak mau berpisah." Khalifah Ali berkata, "Kamu dusta, demi Allah, kamu tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum kamu rela dengan keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah."' Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui Ya'qub, dari Ibnu Ulayyah. dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafaz yang semisal. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur lain, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafaz yang sama.
Para ulama sepakat bahwa dua orang hakam diperbolehkan menyatukan dan memisahkan, hingga Ibrahim An-Nakha'i mengatakan.”Jika dua orang hakam menghendaki perpisahan di antara pasangan yang bersangkutan, keduanya boleh menjatuhkan sekali talak, atau dua kali talak, atau tiga kali talak secara langsung." Pendapat ini menurut riwayat yang bersumber dari Imam Malik.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa dua orang hakam mempunyai hak sepenuhnya untuk mempersatukan pasangan yang bersangkutan, tetapi tidak untuk memisahkannya.
Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah dan Zaid ibnu Aslam. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Abu Saur, dan Imam Daud.
Dalil mereka ialah firman Allah Swt. yang mengatakan: Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. (An-Nisa: 35) Ternyata dalam ayat ini tidak disebutkan masalah memisahkan suami istri yang bersangkutan.
Jika kedua orang tersebut sebagai wakil dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka hukum yang ditetapkan keduanya dapat dilaksanakan, baik yang menyimpulkan menyatukan kembali ataupun memisahkan keduanya, tanpa ada seorang ulama pun yang memperselisihkannya.
Para Imam berselisih pendapat sehubungan dengan kedua hakam ini, apakah keduanya diangkat oleh hakim, karenanya mereka berdua berhak memutuskan perkara, sekalipun pasangan suami istri yang bersangkutan tidak puas? Ataukah keduanya berkedudukan sebagai wakil dari masing-masing pihak yang bersangkutan? Sebagai jawabannya ada dua pendapat.
Jumhur ulama cenderung kepada pendapat yang pertama tadi, karena berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan: maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. (An-Nisa: 35)
Dalam ayat ini keduanya dinamakan hakam, dan sudah sepantasnya bagi hakam menetapkan keputusannya, sekalipun yang dikenai keputusannya tidak puas. Pendapat ini merupakan makna lahiriah ayat.
Sedangkan menurut qaul jadid dari mazhab Syafii —juga menurut pendapat Imam Abu Hanifah serta semua murid-muridnya— cenderung kepada pendapat yang kedua, karena berdasarkan kepada perkataan Khalifah Ali r.a. kepada seorang suami yang mengatakan, "Aku tidak menginginkan perpisahan," lalu Ali r.a. berkata, "Kamu dusta, sebelum kamu mengakui seperti pengakuan yang dilakukan oleh istrimu." Mereka mengatakan, "Seandainya kedua orang tersebut benar-benar hakam. niscaya tidak diperlukan adanya ikrar dari pihak suami."
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa para ulama sepakat dua orang hakam itu apabila pendapat keduanya berbeda, maka pendapat pihak lain tidak dianggap. Tetapi mereka sepakat bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut penyatuan kembali, sekalipun pihak suami istri yang bersangkutan tidak mengangkat keduanya sebagai wakil dari masing-masing pihak.
Mereka berselisih pendapat, apakah pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut masalah perpisahan? Kemudian diriwayatkan dari jumhur ulama bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan sehubungan dengan masalah perpisahan ini, sekalipun tanpa perwakilan (dari suami istri yang bersangkutan).
----------------------------------------
Sumber : Kitab Tafsir Ibnu Katsir